Jumat, 28 Oktober 2011

Ciri-ciri Anak Perfeksionis

Ciri-ciri anak perfeksionis bisa di luar dugaan. Jika kita membayangkan anak yang perfeksionis merupakan anak yang sempurna, kutu buku, selalu rapi, sebagian mungkin benar, tetapi tidak semua anak perfeksionis dapat menampilkan diri mereka seperti itu. Ketika anak perfeksionis ini tidak dapat tampil seperti yang diharapkan, disitulah terjadi masalah di dalam dirinya yang perlu dipahami oleh orang dewasa agar dapat membantunya bertumbuh. Dengan bantuan Wagele (1997), saya berusaha mengungkap karakter anak perfeksionis yang mungkin saja luput dari perhatian kita.

Anak yang perfeksionis cenderung berfokus pada prinsip, moral dan etika, sebagian yang lain menjadi anak yang tidak mudah puas dan pemilih. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan waktu. Untuk itu, mereka bisa saja sering terlambat datang ke sekolah karena mereka merasa harus mencoret beberapa hal dari dalam daftarnya sebelum mereka keluar rumah atau melakukan sesuatu. Ada yang bolak-balik mengganti tali sepatunya karena merasa warnanya kurang cocok dengan jaket yang dikenakannya, ada yang bolak-balik menyeterika bajunya karena menurut dia masih ada kerutan yang nampak, ada yang terlalu lama mengunyah sarapannya karena menurutnya makanan harus dikunyah sampai hitungan tertentu baru boleh ditelan agar tidak merusak pencernaannya, dan lain sebagainya. Guru yang mudah marah tanpa mendengarkan alasan atas keterlambatan mereka, tidak akan mengenalinya, mereka akan mudah dianggap sebagai PEMALAS.

Dalam hal sopan santun, mereka takut untuk memperlihatkan rasa marah, namun seringkali membuat kesalahan karena terlalu jujur dengan perasaan mereka yang membuat orang lain melihat mereka kasar. Hal ini membuat mereka seringkali merasa tertekan karena mengkhawatirkan untuk menjadi orang yang sopan, sementara mereka tidak tahan melihat ketidakberesan.

Dalam kebiasaan belajarnya, mereka mudah tertekan jika ingin menjadi unggul. Anak dengan corak ini terlalu keras pada diri mereka sendiri, sehingga sebaiknya guru atau orang tua tidak mengomel pada mereka karena biasanya mereka memiliki rasa bersalah yang cukup besar. Ketika orang di sekitarnya sudah memaafkannya, ia masih belum dapat memafkan dirinya sendiri.

Dalam mengambil keputusan, biasanya mereka mengambil keputusan dengan objektif. Mereka sangat menekankan untuk melakukan sesuatu dengan benar, dan hal ini kadang-kadang membuat mereka menjadi orang yang kaku. Anak dengan tipe perfeksionis ini membutuhkan dorongan untuk terlibat pada sesuatu yang benar-benar sangat ingin mereka lakukan daripada membiarkan mereka membuat keputusan yang didasarkan pada apa yang seharusnya mereka inginkan, karena apa yang mereka inginkan bisa sangat sulit untuk dipenuhi.

Dalam interaksi sosial, tekadang sangat serius dan tipe anak perfeksionis akan merasa kurang nyaman dengan anak yang sembrono atau nakal. Mereka membutuhkan lebih banyak kegiatan yang tidak bersifat kompetisi seperti berkemah atau main drama daripada kegiatan yang bergantung pada pengetahuan dan keahlian.


Anak yang perfeksionis cenderung memiliki sifat yang keras kepala, memiliki pemikiran yang terlatih untuk keadilan dan etika, dan tidak mudah dibujuk. Mereka bisa berlaku terlalu jauh dan teguh pada pendiriannya, sehingga sulit untuk mengubah perilakunya. Jika ciri ini muncul, mereka membutuhkan dorongan untuk memikirkan sudut pandang pihak oposisi (pihak yang lainnya).

Dalam hal tanggung jawab, tipe anak perfeksionis memiliki tanggung jawab yang luar biasa, sehingga mereka cenderung menyalahkan diri sendiri jika mereka gagal memenuhi harapan orang tua atau gurunya di sekolah.


Daftar Pustaka

Wagele, E. (1997). The Enneagram of Parenting: The 9 Types of Children and How to Raise Them Successfully. New York: Harper Collins Publishers Inc.

Kamis, 27 Oktober 2011

Perfeksionisme dan Kecemasan Matematika

Seperti yang sudah saya uraikan dalam tiga artikel terdahulu, bahwa kecemasan matematika itu perlu karena ternyata kecemasan yang terlihat sebagai kecemasan matematika, merupakan ciri dari karakter siswa perfeksionis yang mudah cemas.

Hasil penelitian yang saya lakukan pada tahun 2007 (Kuntoro, 2007), menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan (dengan derajat kepercayaan < .01) antara kecemasan matematika dengan socially-prescribed perfectionism (dimensi ketiga dari perfeksionisme), yaitu seseorang yang mempunyai keyakinan atau anggapan bahwa orang di sekitarnya mempunyai standar yang tinggi terhadap perilaku dirinya dan mengharapkan dirinya menjadi sempurna, dimana anggapan tersebut belum tentu benar.



Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa kecemasan yang selama ini terlihat pada pelajaran matematika bukanlah murni kecemasan matematika, namun merupakan kecemasan yang merupakan ciri dari socially-prescribed perfectionism. Semakin kuat anggapan seseorang bahwa dirinya dituntut menjadi sempurna dalam pelajaran matematika, semakin tinggi kecemasan yang muncul selama pelajaran matematika. Jika seseorang telah memiliki anggapan seperti itu, walaupun guru matematika atau orang-orang di sekitarnya tidak menuntut hal itu ia akan tetap merasa seperti itu.

Hasil penelitian ini juga menjelaskan kenyataan yang terjadi di lapangan, mengapa siswa seringkali menolak untuk mengerjakan soal matematika yang ditugaskan kepadanya di papan tulis walaupun sesungguhnya mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Bahkan mereka yang telah berhasil mengerjakan soal tersebut di buku latihan pun merasa cemas dan menolak ketika diminta mengerjakannya di papan tulis sebagai contoh bagi siswa lainnya. Jika ditanya mengapa, mereka menganggap bahwa penyelesaian yang mereka buat tidak cukup sempurna untuk dijadikan contoh.

Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan(dengan derajat kepercayaan < .01) antara kecemasan matematika dengan self-oriented perfectionism (dimensi dari perfeksionisme), yaitu seseorang yang meletakkan standar tinggi untuk dirinya sendiri. Standar ini digunakan sebagai sebuah ukuran untuk mengevaluasi diri sendiri. Berdasarkan hal ini, jika self-oriented perfectionism dapat menggantikan socially-prescribed perfectionism siswa, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi peningkatan dalam prestasi belajar matematika siswa. Untuk itu, kita perlu mengetahui lebih dalam tentang ciri-ciri karakteristik anak yang perfeksionis, yang akan saya uraikan pada artikel berikut yang berjudul: Ciri-ciri Karakter Anak Perfeksionis.




Daftar Pustaka:

Kuntoro, Martuti, 2007. Kontribusi Perfeksionisme Siswa, Dan Persepsi Siswa Terhadap Pola Asuh Orang Tua Siswa dan Karakteristik Guru Pada Kecemasan Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis: Universitas Indonesia - Depok.

Rabu, 26 Oktober 2011

Perfeksionist itu ada yang Positif....!!


Orang yang perfeksionist seringkali dianggap negatif, karena sering membuat gugup atau senewen orang-orang di sekitarnya. Di dalam masyarakat, orang-orang yang perfeksionist seringkali muncul dengan ciri-ciri orang yang suka mengatur, mengomentari kekurangan orang lain dan suka menuntut orang lain harus begini dan harus begitu, sehingga mereka sering dijauhi. Jika ia kebetulan seorang guru matematika, maka ia akan dikenal dengan sebutan 'guru killer' dan sering menimbulkan kecemasan bagi para siswanya.

Namun jika kemudian perfeksionisme dianggap sebagai sesuatu yang negatif, itu merupakan suatu kesimpulan yang sempit. Karena perfeksionisme yang selama ini dikenal oleh masyarakat hanya merupakan salah satu dimensi dari perfeksionisme itu sendiri. Agar kita tidak menjadi orang yang berpikiran sempit, mari kita mengenal lebih jauh tentang perfeksionisme.

Para ahli psikologi yang lainnya boleh saja membagi perfeksionisme ke dalam banyak dimensi, namun saya lebih senang menggunakan dimensi yang diungkapkan oleh Hewitt, Flett, Turnbull-Donovan dan Mikail (1991), karena lebih sederhana dan mudah dipahami, sehingga mudah juga diukur. Mereka membagi perfeksionisme ke dalam 3 dimensi, yaitu:



  1. Self-oriented perfectionism, yaitu seseorang yang meletakkan standar tinggi untuk dirinya sendiri. Standar ini digunakan sebagai sebuah ukuran untuk mengevaluasi diri sendiri.

  2. Other-oriented perfectionism, yaitu seseorang yang meletakkan standar dan harapan yang tinggi pada orang lain dan mengevaluasi perilaku dan cara kerja mereka berdasarkan standar tersebut.


  3. Socially-prescribed perfectionism, yaitu seseorang yang mempunyai keyakinan atau anggapan bahwa orang di sekitarnya mempunyai standar yang tinggi terhadap perilaku dirinya dan mengharapkan dirinya menjadi sempurna.

Dimensi ke-2 inilah yang paling mudah dikenali karena bersinggungan langsung dengan orang lain, yang kemudian menciptakan label di masyarakat bahwa perfeksionisme adalah sesuatu hal yang negatif. Jika kita pernah merasa terganggu dengan orang yang suka berkomentar negatif terhadap apa pun dan ingin berteriak di telinganya: 'Hai, Nobody's Perfect…!!', nah, kita sedang berhadapan dengan perfektionist yang tergolong dimensi ke-2. Seorang guru matematika sangat TIDAK dianjurkan memiliki ciri-ciri perfeksionisme dimensi ini karena dapat menyebabkan kecemasan matematika yang mematikan pada diri siswa.

Sedangkan untuk jenis dimensi yang ke-3 biasanya ada pada orang-orang yang takut tampil, selalu menolak untuk mengemukakan pendapat. Pada pelajaran matematika, biasanya terlihat pada siswa yang selalu menolak mengerjakan soal di papan tulis meskipun ia sudah mengerjakannya dengan benar di buku latihannya. Jika ditanya mengapa, mereka menganggap bahwa penyelesaian yang mereka buat tidak cukup sempurna untuk dijadikan contoh (walaupun gurunya sudah mengatakan benar, namun masih takut terhadap penilaian teman-temannya).

Kedua dimensi di atas berbeda dengan dimensi ke-1 dari perfeksionisme. Dimensi pertama inilah yang memungkinkan seseorang meraih prestasi, namun sulit sekali dikenali, karena standar tinggi yang ditetapkannya hanya untuk dirinya sendiri dan biasanya mereka juga menyimpan sendiri rasa takut gagal yang sering mereka rasakan. Jika tidak diatasi, mereka lebih fokus pada rasa cemas akan kegagalannya dan bukan pada penyelesaiannya, sehingga akibatnya mereka benar-benar gagal.


Berita baiknya, kecemasan yang mereka rasakan ini dapat menjadi suatu tanda adanya keinginan yang kuat untuk berhasil dan jika dikelola dengan baik, prestasi belajarnya dapat meningkat dengan drastis. Diharapkan para guru matematika dapat memanfaatkan dimensi pertama ini untuk mendongkrak nilai matematika siswanya. Bagaimana caranya? Kita perlu mengenali ciri-ciri anak yang perfeksionis terlebih dahulu, namun sebelumnya kita lihat dulu bagaimana hubungan dengan kecemasan matematika dari hasil penelitian yang saya lakukan di tahun 2007 (Kuntoro, 2007) dan akan saya uraikan pada artikel berikutnya dengan judul: Perfeksionisme dan Kecemasan Matematika.


Daftar Pustaka:

Hewitt, P., Flett, G., Turnbull-Donovan, W., & Mikail, S. (1991). Multidimensional Perfectionism Scale: Reliability, validity, and psychometric properties in psychiatric samples. Psychological Assessment: A Journal of Counsulting and Clinical Psychology, Vol. 3, hal. 464-468.

Kuntoro, Martuti, 2007. Kontribusi Perfeksionisme Siswa, Dan Persepsi Siswa Terhadap Pola Asuh Orang Tua Siswa dan Karakteristik Guru Pada Kecemasan Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis: Universitas Indonesia - Depok.

Minggu, 23 Oktober 2011

Kecemasan Matematika Sebagai Tanda Menuju Prestasi....!!

Kecemasan matematika (math anxiety) yang seringkali saya temui selama belasan tahun mengajar, bukanlah kecemasan matematika yang memiliki ciri-ciri sampai mengeluarkan keringat dingin, badan bergetar dan berkali-kali minta ijin pergi ke toilet, bahkan ada yang mengatakan sampai sesak nafas, mual dan pusing, atau ciri-ciri lain yang dapat menghambat proses seorang siswa memahami konsep-konsep matematika. Jika pun ada sikap apatis dari seorang siswa terhadap pelajaran matematika, bukan disebabkan oleh kecemasan matematika seperti yang didefinisikan oleh para ahli, namun lebih kepada sikap menyerah karena merasa tidak akan pernah mampu mencapai hasil seperti yang diharapkan (biasanya terjadi pada siswa yang guru matematikanya hanya menilai kamampuan mereka berdasarkan nilai yang mereka capai dan kurang memiliki mata batin yang tajam atau orang tua dan gurunya sering membanding-bandingkan kemampuan atau prestasi anaknya dengan anak lain atau saudara kandung yang lainnya).

Kecemasan matematika yang seringkali terlihat pada pelajaran matematika adalah rasa cemas yang ditunjukkan melalui usaha para siswa yang terus menerus mencari kepastian, apakah cara yang digunakannya dalam menyelesaikan satu soal matematika sudah tepat menurut gurunya sebelum benar-benar dikerjakan dengan cara tersebut. Mereka juga seringkali menolak untuk mengerjakan soal matematika yang ditugaskan kepadanya di papan tulis, walaupun sesungguhnya mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan soal-soal tersebut. Bahkan mereka yang telah berhasil mengerjakan soal tersebut di buku latihan pun merasa cemas dan menolak ketika diminta mengerjakannya di papan tulis sebagai contoh bagi siswa lainnya. Jika ditanya mengapa, mereka menganggap bahwa penyelesaian yang mereka buat tidak cukup sempurna untuk dijadikan contoh.

Siswa yang memiliki ciri-ciri kecemasan seperti tersebut diatas cenderung perfeksionis. Perfeksionis itu sendiri merupakan sebuah pola perilaku dan persepsi yang didasarkan pada penempatan harapan dan standar yang sangat tinggi pada diri sendiri (Brewer, 2001). Karakteristik siswa yang perfeksionis cenderung berusaha terlalu keras untuk memenuhi standar kesempurnaan yang tinggi, baik itu yang ditetapkan oleh dirinya sendiri maupun standar yang ditetapkan oleh lingkungan di sekitarnya terhadap dirinya, seperti guru dan orang tuanya.

Dari penelitian yang saya lakukan (Kuntoro, 2007), ditemukan bahwa kecemasan matematika pada siswa dengan skor rata-rata dari perfeksionisme tinggi mempunyai hubungan yang signifikan dengan salah satu dimensinya. Hal inilah yang memungkinkan siswa untuk berprestasi di bidang matematika walaupun dirinya mempunyai kecemasan.

Berdasarkan hal tersebut, guru matematika dan para orang tua seharusnya mewaspadai jika siswa atau anaknya sama sekali tidak memiliki kecemasan dalam pelajaran matematika, karena kemungkinan siswa tersebut tidak memiliki standar prestasi yang hendak dicapai. Karena pada kenyataannya di lapangan, tidak sedikit siswa yang bangga mendapat nilai buruk dalam pelajaran matematika. Terutama terlihat pada siswa yang orang tuanya selalu memaklumi ketidakmampuannya di bidang matematika dan tidak pernah memberikan target pencapaian nilai matematika tertentu untuk anaknya dengan dalih: takut anaknya stress.

Kemudian, apa yang sebaiknya dilakukan agar prestasi belajar matematika para siswa dapat meningkat? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita mengubah dulu paradigma tentang perfeksionisme ini, yang akan saya uraikan pada artikel berikutnya yang berjudul: Perfeksionist itu Positif....!!, sebab masih banyak orang yang memandang perfeksionisme secara negatif (bisa benar, bisa tidak benar). Sayang sekali jika senjata paling ampuh ini tidak digunakan untuk mendongkrak nilai matematika para siswa.


Daftar Pustaka

Brewer, A. Lauren. (2001). Perfectionism and Parenting: The relationship of perceived parenting style of parent, attachment, parent status, and gender to parental perfectionism. Disertasi: University of Missouri-Columbia.

Kuntoro, Martuti, 2007. Kontribusi Perfeksionisme Siswa, Dan Persepsi Siswa Terhadap Pola Asuh Orang Tua Siswa dan Karakteristik Guru Pada Kecemasan Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis: Universitas Indonesia - Depok.

Kecemasan Matematika Itu Perlu.....!!

Selama ini kecemasan matematika (math anxiety) dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Seperti telah kita ketahui, banyak hasil penelitian tentang kecemasan matematika yang dikaitkan dengan hasil belajar, berkorelasi negatif (semakin tinggi kecemasan matematika seorang siswa semakin rendah prestasi belajar matematika siswa tersebut). Sedangkan kecemasan matematika yang dikaitkan dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika juga berkorelasi negatif (semakin tinggi kecemasan matematika siswa semakin negatif sikap siswa terhadap pelajaran matematika). Hal ini menyebabkan pandangan negatif terhadap kecemasan matematika seperti mendapat penguatan terus menerus dari satu penelitian ke penelitian yang lainnya, sehingga kemudian banyak usaha dilakukan untuk membuat pelajaran matematika menjadi menyenangkan melalui permainan-permainan yang seringkali diberikan, dengan harapan jika dapat menjadikan pelajaran matematika lebih menyenangkan maka hasil belajarnya dapat meningkat. Apakah harapan tersebut benar-benar dapat tercapai?

Sayangnya, permainan-permainan matematika tersebut dalam pelaksanaannya kurang disesuaikan relasinya dengan topik yang akan diajarkan dan dilakukan pada waktu yang kurang tepat, sehingga malah mengacaukan konsentrasi siswa dalam memahami konsep-konsep dasar Matematika karena tujuannya hanya untuk mencairkan suasana tegang yang seringkali terlihat pada pelajaran matematika. Pelajaran matematika juga cenderung hiruk pikuk karena guru menjadi takut memberikan tuntutan-tuntutan kepada siswa agar siswa tidak merasa cemas pada pelajaran matematika dengan harapan nilai matematikanya akan meningkat, namun pada akhirnya, harapan hanya tinggallah harapan. Prestasi belajar matematika siswa tetap saja rendah.

Dari data mentah penelitian yang pernah saya lakukan di tahun 1996 (Kuntoro, 1996) tentang kecemasan matematika yang saya kaitkan dengan hasil belajar matematika siswa SMP, walaupun hasilnya juga berkorelasi negatif, namun saya menemukan beberapa kasus yang cukup menarik perhatian karena di antara partisipan dalam penelitian tersebut ada yang mempunyai prestasi cukup baik dalam pelajaran matematika dan juga mempunyai kecemasan matematika yang cukup tinggi. Hal ini ternyata terungkap kembali dalam penelitian yang dilakukan oleh Aini (2002). Dari hasil penelitiannya, Aini membagi tingkat kecemasan siswa dan hasil belajar matematika menjadi tiga kelompok, sebagai berikut:

Kecemasan Siswa yang tergolong
Tinggi 34,13%
Sedang 34,13%
Rendah 31,74%

Hasil Belajar Matematika Siswa yang tergolong
Tinggi 39,68%
Sedang 25,40%
Rendah 34,92%

Walaupun dari hasil tersebut belum dapat dipastikan bahwa siswa yang tingkat kecemasannya tinggi adalah siswa yang hasil belajar matematikanya juga tinggi, tapi dapat kita hitung bahwa 68,26% siswa tersebut tingkat kecemasannya ada di atas rata-rata dan jika hasil belajar matematika yang di atas rata-rata juga sebanyak 65,08% siswa, paling tidak ada beberapa siswa yang memiliki hasil belajar matematika tinggi dan tingkat kecemasannya juga tergolong tinggi. Sayangnya, Aini kurang menggali lebih dalam hasil penelitian tersebut dan saran yang disampaikan juga kurang mencapai sasaran. Namun, hasil penelitian ini cukup dapat menguatkan bahwa kecemasan yang muncul selama proses belajar matematika kemungkinan juga mempunyai dampak yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa, selama kecemasan tersebut memiliki kadar yang tepat dan diakomodasi secara bijak oleh para guru.

Semoga dengan adanya artikel ini, semakin banyak para peneliti muda yang lebih berani memunculkan fakta bahwa Kecemasan Matematika juga PERLU ditumbuhkan dalam diri siswa agar tidak menjadi faktor yang dapat merusak, namun dapat menjadi suatu tanda atau harapan adanya keinginan untuk meraih prestasi. Nah, pertanyaan berikut yang mungkin muncul adalah: Faktor apakah yang dapat menyebabkan kecemasan matematika berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa? Penelitian yang saya lakukan di tahun 2007 (Kuntoro, 2007) mungkin dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut dan akan saya ulas dalam artikel yang berjudul: Kecemasan Matematika Sebagai Tanda Menuju Prestasi....!!


Daftar Pustaka:

Aini, Muslihah Nurul. (2002). Pengaruh Kecemasan Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika (Studi Kasus Pada Siswa Kelas II Jurusan Otomotive SMK PGRI 3 Malang). Malang: Dept. Of Computation and Mathematics Education, JIPTUMM.

Kuntoro, Martuti. 1996. Pengaruh Rasa Cemas Siswa dalam Pengajaran Matematika terhadap Hasil Belajar Matematika di Kelas 1 SMPK Mater Dei Tangerang. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia (Skripsi).

Kuntoro, Martuti, 2007. Kontribusi Perfeksionisme Siswa, Dan Persepsi Siswa Terhadap Pola Asuh Orang Tua Siswa dan Karakteristik Guru Pada Kecemasan Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama. Depok: Universitas Indonesia (Tesis).